43. TAFSIR SURAT AZ-ZUKHRUF

 Surat Az-Zukhruf (الزخرف) adalah surat ke-43 dalam Al-Qur'an, terdiri dari 89 ayat, dan termasuk golongan surat Makkiyah. Kata "Az-Zukhruf" berarti "Perhiasan" atau "Keindahan Emas", yang merujuk pada bagian dari surat ini yang membahas bagaimana perhiasan dunia seringkali menipu manusia dan membuat mereka lalai dari mengingat Allah.

Berikut adalah beberapa tema utama dari Surat Az-Zukhruf:

1. Keagungan Al-Qur’an dan Pentingnya Wahyu

Surat ini dimulai dengan huruf muqatta'ah, yaitu "حم" (Haa Miim), yang menunjukkan bahwa hanya Allah yang mengetahui maknanya. Ini adalah salah satu dari beberapa surat yang dimulai dengan huruf-huruf ini, dan ini menegaskan keagungan Al-Qur'an sebagai wahyu dari Allah. Pada ayat 3-4, Allah menyatakan bahwa Al-Qur’an diwahyukan dalam bahasa Arab yang jelas untuk memudahkan pemahaman dan bahwa ia disimpan dalam "Ummul Kitab" (Kitab Induk) di sisi Allah, yang menunjukkan kemuliaan dan keagungannya.

2. Kritik terhadap Penyembahan Berhala

Allah membantah penyembahan berhala dan mengkritik orang-orang musyrik yang menjadikan patung dan berhala sebagai tuhan selain Allah. Dalam ayat-ayat 9-15, Allah menegaskan bahwa hanya Dia yang menciptakan langit, bumi, dan segala yang ada di antara keduanya, dan tidak ada alasan untuk menyembah selain-Nya. Ayat ini juga menyentuh pentingnya mengakui karunia Allah dalam kehidupan sehari-hari.

3. Kecaman terhadap Materialisme dan Kesombongan

Surat ini juga mengingatkan manusia agar tidak terpedaya oleh harta dan kekayaan dunia. Dalam ayat 33-35, Allah menyatakan bahwa jika bukan karena risiko manusia menjadi lebih sesat, Dia akan memberikan kekayaan dunia (emas, perak, dan perhiasan) kepada orang-orang kafir. Namun, harta dunia bukanlah tujuan akhir, melainkan sekadar ujian dari Allah.

4. Kisah Nabi Musa dan Nabi Isa

Pada ayat-ayat 46-56, Surat Az-Zukhruf mengangkat kisah Nabi Musa yang diutus kepada Firaun. Firaun dengan angkuhnya menolak ajakan Musa untuk menyembah Allah dan justru mengklaim dirinya sebagai tuhan. Akhirnya, Firaun dihancurkan oleh Allah sebagai balasan atas kesombongannya.

Selain itu, ayat 57-65 juga menceritakan tentang Nabi Isa (Yesus) dan menekankan bahwa Isa hanyalah hamba Allah yang diutus sebagai nabi. Namun, sebagian kaum Bani Israil menyalahpahami kedudukan Isa, bahkan menjadikannya sebagai sosok yang disembah.

5. Hari Kiamat dan Balasan bagi Orang-Orang Beriman serta Orang-Orang Kafir

Surat ini mengakhiri dengan gambaran Hari Kiamat dan balasan yang akan diterima oleh orang-orang yang beriman dan orang-orang yang kafir. Pada ayat 66-73, Allah mengingatkan manusia tentang kedatangan Hari Kiamat, di mana orang-orang kafir akan menerima hukuman di neraka, sedangkan orang-orang beriman akan menikmati kenikmatan surga. Di sini, digambarkan juga pertemuan antara penghuni surga dengan para malaikat yang menyambut mereka.

6. Kesimpulan

Surat Az-Zukhruf menekankan keesaan Allah dan mengecam penyembahan berhala serta kesombongan manusia. Allah mengingatkan tentang pentingnya mengikuti wahyu yang telah diturunkan-Nya melalui para nabi, menghindari kecintaan yang berlebihan pada dunia, serta bersiap menghadapi Hari Kiamat. Tafsir surat ini juga menegaskan bahwa harta dunia tidak seharusnya menjadi tujuan hidup, karena kebahagiaan sejati ada pada ketaatan kepada Allah dan kesadaran akan kehidupan akhirat.

Jika Anda ingin penjelasan lebih mendetail pada ayat-ayat tertentu dari Surat Az-Zukhruf, saya bisa membantu tafsir ayat per ayat atau pembahasan lebih dalam!4

Berikut adalah tafsir dari Surat Az-Zukhruf ayat 33, 34, dan 35:

Surat Az-Zukhruf Ayat 33-35:

Ayat 33: وَلَوْلَا أَن يَكُونَ ٱلنَّاسُ أُمَّةًۭ وَٰحِدَةًۭ لَّجَعَلْنَا لِمَن يَكْفُرُ بِٱلرَّحْمَـٰنِ لِبُيُوتِهِمْ سُقُفًۭا مِّن فِضَّةٍۢ وَمَعَارِجَ عَلَيْهَا يَظْهَرُونَ

“Dan sekiranya bukan karena agar manusia menjadi umat yang satu (dalam kekafiran), tentulah Kami jadikan bagi orang-orang yang kafir kepada Tuhan Yang Maha Pengasih atap-atap rumah dari perak dan tangga-tangga yang mereka naiki,”

Ayat 34: وَلِبُيُوتِهِمْ أَبْوَٰبًۭا وَسُرُرًا عَلَيْهَا يَتَّكِـُٔونَ

"Dan (Kami jadikan pula) bagi rumah-rumah mereka pintu-pintu (dari perak) dan dipan-dipan yang mereka bertelekan di atasnya."

Ayat 35: وَزُخْرُفًۭا ۚ وَإِن كُلُّ ذَٰلِكَ لَمَّا مَتَـٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۚ وَٱلْـَٔاخِرَةُ عِندَ رَبِّكَ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan (Kami jadikan pula) perhiasan-perhiasan (dari emas). Dan semuanya itu hanyalah kesenangan kehidupan dunia, sedangkan kehidupan akhirat di sisi Tuhanmu adalah bagi orang-orang yang bertakwa."

Tafsir Ayat 33:

Ayat ini menjelaskan bahwa sekiranya bukan karena risiko manusia akan menjadi satu umat dalam kekafiran (yaitu, jika Allah memberikan kekayaan dunia secara melimpah kepada orang-orang kafir), Allah sebenarnya bisa memberikan rumah-rumah yang megah, dihiasi dengan atap perak, kepada mereka. Namun, jika Allah melakukan hal ini, kebanyakan manusia akan tertarik pada harta benda dunia dan cenderung untuk bersatu dalam kekafiran, karena kekayaan sering kali membuat orang lupa kepada Allah dan lebih mencintai kehidupan dunia.

Ayat ini juga menegaskan bahwa Allah tidak memberikan semua kekayaan dunia kepada orang kafir agar tidak membuat orang-orang mukmin tergoda atau iri. Kekayaan dunia bukanlah ukuran kebahagiaan atau keberhasilan sejati, karena dunia ini hanyalah ujian.

Tafsir Ayat 34:

Ayat ini melanjutkan deskripsi tentang bagaimana Allah bisa saja memberikan harta kekayaan yang melimpah kepada orang-orang kafir, termasuk rumah-rumah mereka yang dipenuhi dengan perhiasan, pintu-pintu besar dari perak, serta dipan-dipan yang indah tempat mereka bersandar. Ini menggambarkan betapa mudahnya bagi Allah untuk memberikan kemewahan duniawi, namun Allah tidak melakukannya secara mutlak kepada mereka yang kufur karena bisa mengarahkan manusia pada kesesatan yang lebih dalam.

Ayat ini mengingatkan bahwa fasilitas dan kemewahan dunia bukanlah tujuan akhir hidup, tetapi hanya kesenangan yang bersifat sementara.

Tafsir Ayat 35:

Ayat ini menyimpulkan bahwa semua bentuk kekayaan dan perhiasan dunia, seperti perak dan emas, hanyalah kesenangan sementara di dunia. Allah menekankan bahwa kesenangan duniawi ini tidak ada artinya dibandingkan dengan kenikmatan yang akan diberikan kepada orang-orang yang bertakwa di akhirat. Orang yang bertakwa adalah mereka yang lebih mengutamakan ridha Allah dan keselamatan akhirat dibandingkan kesenangan dunia.

Allah menegaskan bahwa harta dan kekayaan dunia bukanlah sesuatu yang patut dikejar sebagai tujuan utama, karena kehidupan akhirat yang penuh kebahagiaan hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa.

Kesimpulan:

Ketiga ayat ini menekankan bahwa kekayaan dunia tidak boleh dianggap sebagai ukuran kebahagiaan atau keberhasilan. Allah bisa saja memberikan kekayaan yang berlimpah kepada orang-orang kafir, tetapi hal itu akan membuat manusia semakin terjerumus dalam kecintaan terhadap dunia. Keselamatan dan kebahagiaan sejati berada di akhirat, dan hanya diperuntukkan bagi mereka yang bertakwa kepada Allah. Dunia hanyalah tempat ujian, sementara akhirat adalah kehidupan yang sebenarnya.


 كثرة المال ليست إمارة أو علامة على حب الله لعبده، بل من أشراط حب الله تعالى للمرء فتح للعلم وفضله، ولهذا أرشد تبارك وتعالى نبيه صلى الله عليه وسلم لهذا الفضل فعلمه قائلاً: (وقل رب زدني علماً)

ChatG

"Banyaknya harta bukanlah tanda atau bukti bahwa Allah mencintai hamba-Nya, melainkan salah satu tanda cinta Allah Ta'ala kepada seseorang adalah Dia membukakan pintu ilmu dan keutamaannya. Oleh karena itu, Allah yang Maha Suci dan Maha Tinggi membimbing Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wasallam kepada keutamaan ini dengan mengajarinya berdoa: (dan katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu)."

Penjelasan:

Kalimat ini menjelaskan bahwa ukuran kecintaan Allah kepada hamba-Nya tidak diukur dari banyaknya harta atau kekayaan materi yang dimiliki oleh seseorang. Sebaliknya, tanda cinta Allah kepada hamba-Nya adalah Allah membukakan pintu ilmu bagi mereka dan memberikan keutamaan dalam pengetahuan.

Hal ini diperkuat dengan ajaran Allah kepada Nabi Muhammad SAW, di mana Allah memerintahkannya untuk selalu meminta tambahan ilmu dalam doanya. Doa yang dimaksud dalam kalimat ini adalah bagian dari Surat Thaha ayat 114: "وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا" (Dan katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu.).

Penekanan pada ilmu dalam kalimat ini menunjukkan bahwa ilmu lebih berharga daripada harta. Orang yang memiliki ilmu mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi di sisi Allah, dan ilmu dapat membimbing seseorang untuk lebih dekat kepada-Nya. Sementara harta duniawi adalah ujian dan bukan ukuran dari kecintaan Allah.

Dengan demikian, harta hanya merupakan bagian dari kehidupan duniawi yang sementara, sedangkan ilmu membawa manfaat untuk kehidupan dunia dan akhirat


كثرة الرزق في الدنيا لا تدل على محبة الله تعالى ولكن الكفار لجهلهم ظنوا ذلك،قال تعالى عنهم:{وقالوا نحن أكثر أموالا وأولادا وما نحن بمعذبين قل إن ربي يبسط الرزق لمن يشاء ويقدر ولكن أكثر الناس لا يعلمون}فليس كثرة الرزق دليل على الكرامة، ولا قلته دليل على الإهانة.

“Banyaknya rezeki di dunia tidak menunjukkan bahwa Allah Ta'ala mencintai (seseorang), tetapi orang-orang kafir karena kebodohan mereka menyangka hal itu. Allah Ta'ala berfirman tentang mereka: {Dan mereka berkata, ‘Kami memiliki lebih banyak harta dan anak-anak (keturunan), dan kami tidak akan diazab.’ Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya (bagi siapa yang Dia kehendaki), tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.’} Maka, banyaknya rezeki bukanlah bukti kemuliaan (di sisi Allah), dan sedikitnya rezeki bukanlah bukti penghinaan (dari Allah).”

Penjelasan:

Kalimat ini menekankan bahwa banyaknya rezeki atau kekayaan di dunia tidak secara otomatis menunjukkan bahwa Allah mencintai seseorang. Sebaliknya, orang-orang kafir, karena ketidaktahuan dan kesombongan mereka, menganggap bahwa harta benda yang melimpah dan keturunan yang banyak adalah tanda bahwa mereka tidak akan diazab atau dimurkai oleh Allah. Hal ini dibantah dalam ayat Al-Qur’an yang dikutip (Surat Saba’ ayat 35-36), yang menjelaskan bahwa Allah melapangkan dan menyempitkan rezeki sesuai kehendak-Nya, tanpa memandang apakah seseorang itu baik atau jahat.

Ayat tersebut menegaskan bahwa kebanyakan manusia tidak memahami hakikat rezeki dan takdir. Orang yang memiliki banyak harta sering kali menyangka bahwa itu adalah tanda keutamaan atau kecintaan dari Allah, padahal tidak demikian. Rezeki adalah ujian bagi setiap manusia, dan bukan ukuran apakah seseorang dimuliakan atau dihina oleh Allah.

Selain itu, sedikitnya rezeki juga bukanlah tanda bahwa seseorang dihinakan oleh Allah. Rezeki yang terbatas juga merupakan ujian untuk menguji kesabaran dan ketakwaan seorang hamba. Dalam pandangan Islam, yang lebih penting adalah bagaimana seseorang menggunakan rezeki tersebut dan bagaimana sikapnya terhadap takdir Allah, apakah ia bersyukur ketika diberi kelapangan dan bersabar ketika diuji dengan kesempitan.

Dengan kata lain, kemuliaan dan kedudukan seseorang di sisi Allah tidak diukur dari jumlah harta benda yang dimiliki, melainkan dari ketakwaan, ketaatan, dan perilaku dalam menghadapi ujian hidup.



"لا خير في عبد لا يذهب ماله ولا يشق جسمه"

Terjemahan:

"Tidak ada kebaikan pada seorang hamba yang tidak menghabiskan hartanya dan tidak melukai tubuhnya."

Pengecekan Hadits:

Kalimat ini tidak dikenal sebagai hadits Nabi Muhammad SAW yang sahih ataupun yang terkenal dalam sumber-sumber hadits standar seperti Sahih Bukhari, Sahih Muslim, atau kitab hadits lainnya. Mungkin ini adalah ungkapan hikmah atau nasihat dari ulama atau seseorang yang memotivasi orang untuk bersikap dermawan dan bekerja keras, namun bukan berasal dari Nabi SAW berdasarkan sumber yang ada.

Penjelasan:

Secara maknawi, kalimat ini mengandung pesan moral tentang pentingnya:

  1. Menginfakkan harta di jalan kebaikan: “Tidak menghabiskan hartanya” bisa diartikan bahwa seorang hamba yang baik harus menggunakan hartanya untuk tujuan yang bermanfaat, misalnya untuk bersedekah, membantu orang lain, atau menginvestasikan kekayaan dalam hal-hal yang mendatangkan kebaikan di dunia dan akhirat.

  2. Mengorbankan tenaga dan fisik untuk tujuan yang baik: “Tidak melukai tubuhnya” bisa dimaknai sebagai metafora untuk kerja keras atau usaha fisik dalam berjuang di jalan Allah atau menafkahi keluarga. Ini bukan tentang menyakiti tubuh secara harfiah, tetapi lebih kepada bekerja keras dan menghadapi kesulitan fisik demi kebaikan dan ketaatan kepada Allah.

Namun, mengingat ini bukan hadits yang sahih atau dikenal, sebaiknya tidak digunakan sebagai dasar atau rujukan utama dalam kajian hadits atau hukum. Pesan moralnya tetap bisa dipahami sebagai dorongan untuk berkontribusi secara materi dan fisik dalam kebaikan, tetapi sebaiknya lebih mengacu kepada hadits-hadits yang sahih dan kuat otoritasnya.

Jika Anda memerlukan referensi hadits sahih terkait infak harta dan kerja keras dalam Islam, saya bisa mencarikannya untuk Anda.


نعم العون على تقوى الله الغنى

Terjemahan:

"Sebaik-baik penolong dalam ketakwaan kepada Allah adalah kekayaan."

Penjelasan:

Hadits ini mengandung makna bahwa kekayaan atau kecukupan materi bisa menjadi penolong yang baik bagi seseorang untuk meningkatkan ketakwaannya kepada Allah. Hal ini menunjukkan bahwa harta bukanlah hal yang sepenuhnya negatif, asalkan digunakan dengan bijak dan sesuai dengan syariat. Berikut beberapa poin penting dari hadits ini:

  1. Kekayaan sebagai sarana untuk ibadah: Kekayaan dapat memudahkan seseorang dalam menjalankan ketaatan kepada Allah. Misalnya, dengan kekayaan, seseorang dapat bersedekah, membantu orang yang membutuhkan, membangun fasilitas ibadah, atau membiayai kegiatan-kegiatan yang mendekatkan diri kepada Allah. Selain itu, kekayaan juga bisa digunakan untuk menunaikan kewajiban agama seperti zakat, haji, dan amal lainnya.

  2. Kekayaan memudahkan hidup: Orang yang memiliki kecukupan harta dapat fokus pada ketaatan dan ibadah, tanpa terganggu oleh kesulitan ekonomi. Mereka tidak perlu terlalu khawatir mencari nafkah untuk kebutuhan pokok sehingga lebih mudah mengalokasikan waktu dan energinya untuk memperbaiki hubungan dengan Allah.

  3. Pentingnya mengelola harta dengan benar: Hadits ini mengingatkan bahwa kekayaan bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk membantu seseorang bertakwa. Oleh karena itu, seseorang harus bijak dalam menggunakan kekayaannya agar mendatangkan manfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat. Harta yang tidak dikelola dengan baik bisa menjadi fitnah dan membuat seseorang lalai dari Allah.

  4. Kekayaan bukan ukuran takwa: Meskipun kekayaan bisa menjadi penolong bagi ketakwaan, hal ini tidak berarti bahwa orang yang lebih kaya otomatis lebih bertakwa. Sebaliknya, kekayaan adalah ujian yang bisa mendekatkan atau menjauhkan seseorang dari Allah, tergantung bagaimana ia menggunakannya.

Kesimpulan:

Hadits ini menekankan bahwa kekayaan yang dimanfaatkan dengan benar bisa menjadi penolong yang baik untuk mencapai ketakwaan kepada Allah. Namun, kekayaan hanyalah sarana, bukan tujuan akhir. Yang lebih penting adalah bagaimana seseorang menggunakan kekayaannya untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan hanya untuk kesenangan duniawi.


نِعمَ المالُ الصَّالحُ للرَّجلِ الصَّالحِ

Terjemahan:

"Sebaik-baik harta yang baik adalah milik orang yang baik."

Penjelasan:

Hadits ini mengandung makna bahwa harta yang halal dan diperoleh dengan cara yang baik sangat bermanfaat jika berada di tangan seseorang yang shalih. Beberapa pelajaran penting dari hadits ini antara lain:

  1. Harta yang baik: Hadits ini menekankan pentingnya harta yang diperoleh melalui cara-cara yang halal, bersih, dan sesuai dengan syariat. Harta yang "shalih" berarti harta yang didapatkan tanpa unsur riba, penipuan, kecurangan, atau hal-hal yang diharamkan dalam Islam. Harta yang diperoleh dengan cara yang baik bisa membawa berkah dalam kehidupan pemiliknya.

  2. Orang yang shalih: Harta yang berada di tangan orang yang baik (shalih) akan digunakan dengan cara yang baik pula. Seorang yang shalih akan menggunakan hartanya untuk hal-hal yang bermanfaat, seperti membantu sesama, bersedekah, mendukung kegiatan keagamaan, dan memenuhi kewajiban-kewajiban agama seperti zakat, infaq, dan sebagainya. Dengan demikian, harta tersebut menjadi alat untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendatangkan kebaikan bagi orang lain.

  3. Hubungan antara harta dan akhlak: Hadits ini menunjukkan bahwa harta bukanlah sesuatu yang buruk, tetapi harta bisa menjadi sesuatu yang sangat bermanfaat dan penuh berkah apabila dimiliki dan digunakan oleh orang yang memiliki akhlak yang baik. Orang yang shalih tahu bagaimana mengelola hartanya dengan bijaksana dan tidak menyalahgunakan harta tersebut untuk tujuan-tujuan yang melanggar aturan agama.

  4. Harta sebagai sarana untuk kebaikan: Kekayaan yang berada di tangan orang yang shalih bisa menjadi alat untuk memperbanyak amal kebajikan dan memfasilitasi orang lain untuk mendapatkan manfaat. Orang yang shalih menggunakan hartanya untuk menyebarkan kebaikan, menolong yang lemah, dan memperjuangkan kemaslahatan umat. Sebaliknya, jika harta berada di tangan orang yang tidak shalih, bisa jadi harta tersebut akan digunakan untuk kerusakan atau kepentingan pribadi yang merugikan.

Kesimpulan:

Hadits ini mengajarkan bahwa harta yang halal adalah anugerah yang sangat baik jika dimiliki oleh orang yang shalih. Orang yang baik akan menggunakan hartanya dengan penuh tanggung jawab dan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah serta membantu sesama. Harta, ketika dikelola dengan baik oleh orang yang bertakwa, bisa menjadi sumber kebaikan yang melimpah bagi dirinya dan masyarakat.


إذا رأيت الله يعطي العبد من الدنيا على معاصيه ما يحب، فإنما هو استدراج

Terjemahan:

"Jika kamu melihat Allah memberikan (kesenangan) dunia kepada seorang hamba yang melakukan maksiat sesuai dengan apa yang ia inginkan, maka itu hanyalah istidraj (penangguhan)."

Penjelasan:

Hadits ini menyampaikan sebuah peringatan penting tentang istidraj, yaitu ketika Allah memberikan kenikmatan duniawi kepada seseorang meskipun ia terus-menerus melakukan dosa dan maksiat. Hal ini bukan tanda cinta atau ridha dari Allah, melainkan sebuah bentuk penangguhan yang akhirnya bisa berujung pada hukuman yang lebih besar. Mari kita uraikan poin-poin penting dari hadits ini:

  1. Kenikmatan dunia bukan tanda ridha Allah: Hadits ini menjelaskan bahwa seseorang yang diberi banyak rezeki, harta, atau kenikmatan duniawi, meskipun ia terus berbuat dosa, bukan berarti Allah meridhai perbuatannya. Sebaliknya, ini bisa menjadi bentuk istidraj, yaitu Allah memberikan kelonggaran sementara, tetapi akan menghisabnya di kemudian hari.

  2. Istidraj: Penangguhan sebelum hukuman: Istidraj adalah keadaan di mana Allah memberi seseorang kenikmatan dan kemudahan dalam hidupnya, meskipun ia tenggelam dalam dosa. Allah tidak segera menghukum orang tersebut, tetapi menangguhkan hukuman sampai tiba waktu yang ditetapkan. Orang yang menerima istidraj mungkin merasa aman dan berpikir bahwa tidak ada konsekuensi atas dosa-dosanya, padahal kenyataannya hukuman yang lebih besar sedang menanti jika ia tidak bertaubat.

  3. Peringatan bagi orang yang lalai: Bagi orang yang berbuat dosa dan mendapatkan banyak kenikmatan dunia, hadits ini merupakan peringatan bahwa kondisi tersebut seharusnya tidak membuatnya merasa aman. Kenikmatan yang ia terima bukanlah pertanda bahwa Allah mencintainya atau bahwa ia tidak akan diazab, melainkan bentuk istidraj yang bisa berakhir dengan kebinasaan.

  4. Taubat dan introspeksi: Hadits ini mengajak orang-orang untuk melakukan taubat dan introspeksi. Jika seseorang menyadari bahwa ia diberi banyak kenikmatan dunia meskipun berbuat dosa, maka ia harus segera bertaubat sebelum datangnya azab atau hukuman Allah. Kenikmatan dunia yang melimpah tidak berarti bahwa seseorang aman dari murka Allah, justru ia harus semakin berhati-hati dan lebih banyak mendekatkan diri kepada Allah.

  5. Pentingnya ketakwaan: Islam mengajarkan bahwa ketakwaan dan ketaatan kepada Allah adalah yang paling penting, bukan seberapa banyak kenikmatan dunia yang dimiliki. Orang yang mendapatkan kenikmatan dunia tanpa ketakwaan harus waspada, karena bisa jadi itu adalah bentuk istidraj yang menjerumuskan.

Kesimpulan:

Hadits ini mengajarkan kepada kita bahwa kenikmatan dunia yang diberikan Allah kepada seseorang yang terus-menerus melakukan dosa bukanlah tanda cinta atau ridha-Nya, melainkan bentuk istidraj. Kenikmatan ini hanya bersifat sementara dan bisa diakhiri dengan hukuman jika orang tersebut tidak bertaubat. Oleh karena itu, hadits ini merupakan peringatan bagi kita semua untuk selalu bertaubat, meningkatkan ketakwaan, dan tidak terlena oleh kenikmatan dunia yang bisa menipu.

وقال - صلى الله عليه وسلم -: يقول الله تعالى يوم القيامة: أين صفوتي من خلقي؟ فتقول الملائكة: ومن هم يا ربنا؟ فيقول: فقراء المسلمين القانعون بعطائي الراضون بقدري أدخلوهم الجنة، فيدخلونها ويأكلون ويشربون والناس في الحساب يترددون

Terjemahan:

Rasulullah ﷺ bersabda: "Allah Ta'ala berkata pada hari kiamat: 'Di manakah orang-orang pilihan dari makhluk-Ku?' Para malaikat berkata: 'Siapa mereka, wahai Tuhan kami?' Allah berkata: 'Mereka adalah orang-orang fakir dari kalangan Muslimin yang ridha dengan pemberian-Ku dan menerima ketetapan-Ku.' Lalu Allah berkata: 'Masukkan mereka ke dalam surga.' Maka mereka masuk ke dalamnya, makan dan minum, sementara manusia lainnya masih dalam perhitungan (hisab)."

Penjelasan:

Hadits ini berbicara tentang kemuliaan dan keistimewaan orang-orang fakir Muslim yang ridha dengan apa yang Allah berikan, dan yang tetap bersabar serta menerima dengan penuh kerelaan ketetapan Allah (takdir) yang diberikan kepada mereka. Beberapa pelajaran penting yang bisa dipetik dari hadits ini adalah:

  1. Pilihan Allah dari makhluk-Nya: Allah pada hari kiamat mencari orang-orang pilihan (صفوتي) dari makhluk-Nya. Yang dimaksud sebagai "pilihan" di sini adalah orang-orang yang memiliki sifat-sifat mulia, yakni mereka yang hidup dalam kondisi kekurangan tetapi tetap bersabar, bersyukur, dan ridha dengan apa yang Allah tetapkan.

  2. Kemuliaan orang fakir yang ridha: Orang-orang fakir yang disebut dalam hadits ini adalah mereka yang bersabar dan bersyukur meskipun hidup dalam kekurangan. Mereka tidak mengeluh atas keadaan mereka, tetapi justru merasa puas dan ridha dengan rezeki yang Allah berikan. Ini adalah sikap qana'ah (menerima dengan penuh kepuasan), yang merupakan sifat terpuji dalam Islam.

  3. Ganjaran langsung di surga: Karena sifat sabar, ridha, dan qana'ah mereka, Allah akan memberikan mereka masuk surga lebih dulu tanpa perlu melalui hisab yang lama seperti kebanyakan orang. Mereka akan masuk ke dalam surga untuk menikmati kenikmatan, makan dan minum, sementara orang lain masih sibuk dalam perhitungan amal di padang mahsyar. Ini adalah karunia besar dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang tawakal dan ikhlas menerima takdir-Nya.

  4. Hisab yang lama bagi orang lain: Sebaliknya, orang-orang yang masih dalam hisab adalah mereka yang harus menghadapi perhitungan amal secara rinci. Mereka belum mendapatkan kepastian untuk masuk surga, sementara orang-orang fakir yang sabar dan ridha telah mendapatkan jaminan surga.

  5. Keutamaan sabar dan ridha terhadap takdir: Hadits ini menegaskan keutamaan sifat sabar dan ridha terhadap ketetapan Allah. Harta atau status duniawi bukanlah ukuran utama kemuliaan di hadapan Allah, tetapi kualitas keimanan dan ketaatan. Seseorang yang kekurangan dalam harta, tetapi tetap teguh dalam keimanan dan ridha dengan ketetapan Allah, akan mendapatkan kemuliaan yang besar di akhirat.

Kesimpulan:

Hadits ini memberikan pelajaran bahwa kemuliaan di sisi Allah tidak diukur dengan banyaknya harta atau kekayaan dunia, tetapi dengan keimanan, kesabaran, dan ridha terhadap ketetapan Allah. Orang-orang fakir yang tetap bersabar dan ridha meskipun dalam keadaan sulit akan mendapatkan keistimewaan besar pada hari kiamat, yaitu masuk surga tanpa hisab. Mereka akan menikmati kenikmatan surga sementara orang lain masih dalam proses perhitungan amal.


قال: كاد الفقر أن يكون كفرا؛ لأنه يحمل المرء على ركوب كل صعب وذلول وربما يؤديه إلى الاعتراض على الله والتصرف في ملكه

Terjemahan:

"Dikatakan: 'Kemiskinan hampir-hampir menjadi kekufuran; karena kemiskinan dapat mendorong seseorang untuk melakukan segala sesuatu, baik yang sulit maupun yang mudah, dan mungkin membuatnya protes terhadap Allah serta bertindak di luar batas kekuasaannya.'"

Penjelasan:

Kalimat ini mengandung peringatan tentang bahaya kemiskinan dan bagaimana kondisi kemiskinan yang parah dapat mempengaruhi seseorang hingga membuatnya melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Mari kita bahas poin-poin penting dari kalimat ini:

  1. "Kemiskinan hampir-hampir menjadi kekufuran": Pernyataan ini mengungkapkan bahwa kemiskinan yang ekstrem bisa menjadi ancaman serius terhadap keimanan seseorang. Maksudnya bukan bahwa kemiskinan secara otomatis menjadikan seseorang kafir, tetapi bahwa kondisi kemiskinan yang sangat parah bisa mendorong seseorang pada perilaku yang menyimpang dari ajaran agama.

  2. Kemiskinan bisa mendorong orang melakukan apa saja: Kemiskinan yang menekan dapat membuat seseorang merasa terdesak untuk melakukan segala cara demi bertahan hidup. Ini bisa mencakup tindakan yang melanggar hukum atau norma agama, seperti mencuri, menipu, atau mengambil langkah-langkah yang tidak bermoral. Istilah "melakukan segala yang sulit dan yang mudah" di sini menunjukkan bahwa dalam kondisi terjepit, seseorang bisa saja tidak lagi mempedulikan apakah tindakannya benar atau salah, selama ia bisa keluar dari kesulitan.

  3. Protes terhadap Allah: Salah satu akibat negatif dari kemiskinan ekstrem adalah munculnya rasa ketidakpuasan terhadap takdir. Seseorang mungkin mulai memprotes atau mempertanyakan keputusan Allah, bertanya mengapa dia harus hidup dalam kemiskinan sementara orang lain tidak. Sikap ini bisa menjerumuskan seseorang ke dalam kekufuran, karena protes terhadap Allah menunjukkan kurangnya keimanan dan penerimaan terhadap takdir-Nya.

  4. Tindakan di luar batas kekuasaan: Dalam keadaan tertekan, seseorang mungkin bertindak seakan-akan dia memiliki kendali penuh atas hidupnya, bahkan mencoba melawan atau menolak apa yang telah Allah tetapkan untuknya. Hal ini merupakan tindakan yang melampaui batas, karena sebagai makhluk, kita harus menerima bahwa segala sesuatu terjadi dengan kehendak dan ketetapan Allah. Sikap seperti ini berpotensi membawa seseorang pada keraguan terhadap kekuasaan Allah, yang bisa membahayakan imannya.

Makna dan Pelajaran:

  • Bahaya kemiskinan: Kalimat ini mengingatkan kita bahwa kemiskinan tidak hanya menjadi ujian dalam hal materi, tetapi juga ujian keimanan. Orang yang hidup dalam kemiskinan dihadapkan pada tantangan berat untuk tetap bersabar, bersyukur, dan bertawakal kepada Allah. Kemiskinan bisa menjadi penyebab seseorang tergelincir dari jalan yang benar jika ia tidak memiliki iman yang kuat.

  • Pentingnya menjaga keimanan: Dalam menghadapi ujian kemiskinan, seseorang harus tetap berpegang teguh pada iman dan tidak membiarkan kesulitan duniawi menggoyahkan keyakinannya kepada Allah. Menjaga sikap ridha terhadap takdir Allah dan menghindari tindakan-tindakan yang tidak halal adalah hal yang sangat penting.

  • Tanggung jawab sosial: Di sisi lain, ini juga menjadi peringatan bagi masyarakat untuk peduli terhadap orang-orang yang hidup dalam kemiskinan. Jika kemiskinan dibiarkan, bisa jadi akan muncul perilaku-perilaku menyimpang yang bisa merusak tatanan sosial dan keagamaan.

Kesimpulan:

Kalimat ini menyampaikan bahwa kemiskinan bisa menjadi ujian besar yang mendekatkan seseorang pada kekufuran, terutama jika orang tersebut tidak sabar dan tidak mampu menjaga imannya. Kemiskinan dapat mendorong seseorang pada perilaku yang melanggar ajaran agama, dan bahkan bisa membuatnya protes terhadap Allah. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu yang mengalami kemiskinan untuk tetap bersabar, bersyukur, dan bertawakal kepada Allah, serta bagi masyarakat untuk saling membantu dan menjaga agar kemiskinan tidak mempengaruhi iman seseorang.


وقال صلى الله عليه وسلم: "لا أحد أفضل من الفقير إذا كان راضياً"

Terjemahan:

Rasulullah ﷺ bersabda: "Tidak ada yang lebih baik dari seorang fakir jika ia ridha."

Penjelasan:

Hadits ini menekankan keutamaan orang-orang yang hidup dalam kondisi kekurangan (fakir) tetapi tetap bersyukur dan ridha dengan takdir yang diberikan Allah. Berikut adalah beberapa poin penting dari hadits ini:

  1. Keutamaan orang fakir: Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang hidup dalam kemiskinan (fakir) yang mampu menerima keadaan dan bersyukur adalah lebih baik dibandingkan orang lain. Ini membuktikan bahwa status sosial atau materi bukanlah ukuran utama dalam menilai kemuliaan seseorang di sisi Allah.

  2. Sikap ridha: Ridha di sini merujuk pada sikap menerima dan puas dengan apa yang telah Allah tetapkan, meskipun dalam keadaan tidak beruntung secara materi. Sikap ridha ini menunjukkan kekuatan iman dan keberanian seseorang dalam menghadapi ujian hidup. Orang yang ridha terhadap takdir Allah akan menemukan ketenangan dan kebahagiaan meskipun tidak memiliki banyak harta.

  3. Pelajaran tentang ketidakberdayaan materi: Hadits ini juga memberikan pelajaran bahwa kekayaan atau kepemilikan materi tidak menjamin kebahagiaan atau derajat yang tinggi di sisi Allah. Sebaliknya, keimanan dan sikap positif terhadap keadaan adalah hal yang lebih berharga.

  4. Menghargai orang-orang yang tidak mampu: Hadits ini mengajak kita untuk lebih menghargai dan menghormati mereka yang hidup dalam kemiskinan, terutama jika mereka tetap bersabar dan ridha. Ini juga menjadi dorongan bagi kita untuk membantu dan mendukung mereka dalam masyarakat.

  5. Konteks dalam masyarakat: Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali orang cenderung melihat status sosial dan harta sebagai ukuran kesuksesan. Namun, hadits ini mengingatkan kita bahwa di mata Allah, sikap hati dan kualitas iman jauh lebih penting daripada harta benda.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

67Tafsir Surat Al-Mulk

Tafsir Surat al-Anbiya

52. TAFSIR SURAT ATH THUUR